Thursday, June 23, 2011

Sebelum Fajar















Di akhir perjalanan ini tersirat
awal mula kita. Laki-laki itu menuruni tangga
jari-jarinya mulai gemetar
menggenggam erat pegangannya.
Ini akhirmu, bukan?
Di bawah menunggu ruang yang tercecap asing.
Di bawah menunggu meja makan
dan seekor cicak yang terkejut.

Ia tak suka bicara tentang kacamatanya,
yang kadang lupa ditaruhnya di mana,
tentang rambutnya yang perak,
tentang rumahnya yang kosong dan
sudah ditinggalkan istri dan anak-anak,
tentang cuaca buruk yang menyebabkannya
bersin setiap pagi tentang makanan basi
yang tersisa di meja.

Ia melihat ke dinding, hampir jam tiga;
di mulutnya masih terasa sisa makanan
petang tadi. Masih ada pisang
dan beberapa apel di meja,
pisau dan garpu, tisu, kertas, dan -
dimana gerangan cicak sahabatnya itu?
Ia tiba-tiba ingat belum makan obat.
Ia dengar detak jantungnya sendiri
ketika meminum segelas air putih.

Ia tak bertanya kepada dirinya sendiri lagi
ini musim apa. Semua toh sama saja:
bersin, selesma, dan kaki yang gemetar
ketika menaiki dan menuruni tangga;
ia pandang anak tangga, jerujinya,
pegangannya yang sudah dikenalnya
sejak cucu pertamanya lahir.
Ia pejamkan matanya.
Adakah sebenarnya cucunya?
Adakah sebenarnya anak-anaknya, istrinya?
Adakah sebenarnya semua
yang tersimpan rapi di benaknya?
Ia pun menatap cermin di atas wastafel
tapi tidak mau memperhatikan alis matanya
yang menjadi perak.

Hanya sebuah meja makan,
sisa makanan dan bayangan seekor cicak
yang terkejut dan lari entah kemana,
hanya sebuah kenangan akan sesuatu
yang mungkin memang tak pernah ada,
hanya sebuah harapan yang tak mungkin diharapkan,
Hanya sebuah kehidupan,
yang tak mungkin dihidupkan kembali
sebab memang tak pernah dijalani.

Ia duduk di depan tv yang masih menyala
sejak sore tadi. Apa yang kauinginkan terjadi?
Ia merasa asing, mematikannya.
Pagi bergoyang antara jarum jam di dinding 
dan gerimis kecil di pohon mangga,
antara yang harus dibayangkan
dan yang sia-sia dibayangkan, antara awal dan akhir.
Sebelum fajar tiba.

Diluruskannya sebuah potret
yang miring tergantung di dinding.
Diluruskannya pikiran tentang cucu, anak, dan istrinya -
diluruskannya bayang-bayang antara
yang mungkin ada dan tak juga pernah ada.
Dan potret yang di dinding
lurus menyiasatinya.
Apakah yang pernah tertangkap
dalam gambar dan dalam kenangan
sebenarnya hanya bayang-bayang;
apakah meja makan, piring, bekas cicak,
anak tangga akan menjelma kabut
jika fajar tiba? Ini akhirmu bukan?

Apakah ia mendengar dering telpon?
ia singkapkan korden jendela,
kaki-kaki kabut sehabis gerimis semalaman

Ia tiba-tiba mendengar suara
yang mungkin saja pernah dikenalnya
Siapa yang menjanjikan padamu bahwa fajar akan tiba? 
Dia pun duduk di ruang tamu menatap kebuntuan.
Siapa tahu ada yang mengetuknya jika nanti fajar tiba.

Sapardi Djoko Damono

1 comment:

  1. Amanat sma majas yg bagus buat nih puisi apa ya?????(ada saran)

    ReplyDelete