(ini cerpen kelas 2 SMA, no edit)
Suatu
senja di sore yang temaram, awan dilangit merubah warnanya menjadi keabu abuan.
Matahari bersembunyi menutup senyum yang sedari tadi mekar menghiasi langit
Semarang. Angin bertiup kecil menghembus apa yang didapatnya. Langit mulai
gelap, pertanda Dewa Hujan sudah siap menebarkan kasihnya kepada dunia, melalui
rintik rintik air yang turun. Tumbuhan tersenyum karna akan merasakan segarnya
air hujan disore itu. Titik titik hujan mulai turun membasahi segala yang ada
dibumi waktu itu. Ada yang menyambutnya dengan gembira, seperti gelak tawa anak
anak penjaja ojek payung ditepi jalan raya dikota tua itu. Tapi di sudut lain,
seorang nenek terlihat bingung duduk didepan ruko yang nyaris tutup. Sepertinya
si nenek tak mengharapkan hujan datang pada saat itu. Entah apa gejolah didalam
pikirannya, sulit diterjemehkan lewat raut wajahnya yang sudah mengkeriput.
Usia
nenek yang dulu muda ini, sudah cukup berumur. Raut wajahnya yang keriput itu
menegaskan betapa dia bisa tegar dalam berbagai keadaan. Masa masa hidup yang
penuh problematika, seperti 16 tahun yang lalu , saat lekuken lekuken itu belum
menghiasi raut mukanya yang masih cerah. Sebelum gelap itu menggantikan sinar
terang dalam keluarganya. Bencana itu datang bersama hujan besar yang mengguyur
solo sepanjang malam, untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak.
Keluarganya terjebak dalam banjir bandang yang seketika menyergap. Tanpa pilih
pilih.. tak pandang orang baik atau orang jahat, apa saja yang didapatnya
langsung disergap. Begitu pula dengan tubuh tubuh kecil didalam rumah tua milik
nenek yang ternyata bernama Waljinah
ini.
Dia
selamat atas seizin tuhan, sementara malaikat maut sudah melaksanakan tugasnya
mengambil roh anak anak Waljinah dari jasad jasad kecil itu. Esoknya,, berpuluh
puluh,, oh tidak, terlalu sedikit, yaa beratus ratus jasad manusia terbujur
kaku di tempat evakuasi, disitu juga Waljinah menangis sesal disamping jasad 2
anak gadisnya. Betapa besar kesedihan yang singgah dihati Waljinah, juga di
hati kebanyakan orang Solo yang trenyuh mendengar kabar duka dari sanak
saudara.
Waljinah
adalah satu dari seribu orang yangmengaku tegar, tapi masih bertahan
menjaga ketegaran hati dan imanya ditengah keadaan dan nasibnya yang masih
gonjang ganjing. Ia belum sempat memikirkan kelanjutan nasibnya. Otaknya belum
bisa memikirkan apa apa, tak dapat ditampung di otaknya lagi,setiap kata kata
orang yang lalu lalang memberi nasihat untuk menenangkan kegalauan hatinya. Dia
menjauh sebentar dari kebrisikan orang yang berlalu lalang menggotong jasad
jasad kaku dan dari kebisingan suara tangis yang masih juga belum reda. Mushola
kecil di ujung lapangan yang selamat dari bencana menjadi tujuannya. Dia akan
berdoa barang sebantar untuk kebahagiaan hidup anak anak gadisnya di akhirat.
Mencoba bersyukur dan percaya “dibalik rahasia ada rahasia” untuk sekedar
membangun kembali ketegaran dan ketangguhan hatinya.
Mulailah dia mengambil air wudlu,
percikan air surga itu benar benar menyejukan kepedihan hatinya. Dia masih
ingat kata kata seorang uztad yang sempat didengarnya beberapa waktu lalu.
Tuhan sudah mengatur semua yang akan terjadidalm hidup kita, tak semua yang
kita anggap benar, itu benar juga menurut alllah SWT.. dan tak semua yang kita anggap salah, salah juga menurut Allah
SWT.. kata kata yang selalu menjadi penyemangatnya. Dia melakukan sholatnya
dengan khusuk, setiap gerakanya selalu disertai dengan rasa cinta kepada Allah
SWT.. setelah salam yang kedua kalinya, dia menyelipkan doa untuk kedua anak
gadisnya. “ ya Allah, segala yang ada didunia ini adalah kuasamu, engkau yang
menciptakan manusia dan kelak engkau juga yang akan mengambilnya kembali ke
surgamu,, seperti itu pula yang akan terjadi pada hambamu ini, ternyata engkau
sudah mengambil titipanmu yang sudah bertahun tahun engkau titipkan pada
hambamu yang hina ini, selama bertahun tahun saya sudah berusaha menjaganya
ditengah berbagai macam cobaanmu ya Allah, tapi apa daya, engkau sudah
berkehendak mengambilnya melalui bencana yang engkau tuurunkan di kota kami,
aku ikhlas ya allah, karna semua itu adalah kuasamu .. semoga amal ibadah anak
anaku diterima disisimu amien..”
Bertahun tahun setelah itu, Waljinah
sudah berubah menjadi seorang nenek tua. Tapi tak sedikitpun ketegaran hati dan
iman Waljinah berkurang, bahkan semakin menebal. Waljinah selalu berusaha untuk
belajar dari setiap masalah masalahnya. Saat ini dia hidup di Kota lumpia, disana ia sekedar nebeng hidup
dirumah adik sedarahnya, Warsinah. Anak anaknya sudah diambil bencana banjir
bandang. Gadis pertamanya Siti Khadiyah si periang yang mewarisi bakat menyulam
ibunya adalah gadis berumur 15 tahun. Sedangkan sibungsu Solihah adalah
perempuan pendiam yang menderita penyakit asma. Ia saat itu berumur 11 tahun.
Udara semarang yang panas, membuat mata
Waljinah yang sudah mulai rabun itu harus berkutat dengan sengatan matahari. Ia
menyiripkan matanya untuk melihat sesuatu dari kejauhan. Untuk membeli kacamata
tak mampulah dia. Sore itu dia sedang berjalan pulang dari pekerjaan sehari
harinya membantu Warsinah yang berjualan nasi rames di pinggir jalan seberang.
Waljinah terlalu tega untuk membiarkan Warsinah bekerja sendirian.
Sementara di sudut lain Malaikat
malaikat kecil bersayap payung itu menari nari diatas air yang tergenang
dijalanan. Bak melihat bunga mekar sebelum jatuh masanya, Linda, Raina dan Yogi berlarian
kecil sambil menyiapkan senyum yang tersungging dibibirnya untuk calon
penumpang payungnya. Si anak laki laki yang mengaku macho adalah yogi, dia
adalah yang paling pemberani diantara para pengojek payung. Pernah suatu waktu, si boss ini mendongkak penuh marah kepada seorang bapak
bapak yang bergelimang harta tapi tidak sudi mengeluarkan
uang barang serupiah pun untuk membayar perjuangan Linda. Si boss ini bagaikan leader pahlawan pembela orang-orang yang lemah. “si boss” adalah kata-kata kecil yang apik yang
sering terucap dari bibir Linda dan Raina untuk memanggil pahlawanya itu,
panggilan kesayangan yang membuat Yogi juga balik menyangi mereka. Waktu yang
menjadikan mereka bak saudara se ibu se ayah, bahkan terlalu banyak duka dan
suka yang sudah mereka lewati tanpa asa yang menggelora.
Yogi
tinggal di sudut gang di pemukiman
pinggir sungai. Rumah yang
dianggapnya sudah cukup nyaman, karena didalamnya tinggal juga seorang ibu yang
dulu sudah mengorbankan nyawa untuk melahirkan dan kini berjuang hidup demi
anak semata wayang. Ia pandai bersyukur atas semua yang tuhan berikan
kepadanya. Duka membuatnya bisa merasakan dan menikmati apa itu yang namanya
bahagia.. dan adanya bahagia membuatnya tersenyum dalam berbagai keadaan.
Ibunya adalah wanita kuat yang pintar
dalam berbagai hal, ia bisa menjadi ibu sekaligus ayah dirumah kecil itu.
Wanita berperan ganda yang sangat dihormati dan disayangi Yogi. Sudah 2 tahun
ini keluarga kecil itu hidup tanpa kehadiran seorang ayah ditengah tengahnya.
Ayah Yogi sekarang terpenjara di Sumatra, bukan masalah apa-apa. Ayahnya
bekerja di sebuah penambangan emas liar, mungkin memang sudah takdirnya. Suatu
ketika, ia bersama semakin menarik. suaspinggir sungai. Tanpa disangka-sangka
polisi mengamankan tempat itu. Ayah Yogi dan beberapa sahabatnya belum sempat
lari menyelamatkan diri sendiri dan semuanya. Polisi terlalu pintar untuk
jangkauan pikiran mereka yang masih dangkal. Jadilah mereka menekam di lembah
kesengsaraan di penjara, terpenjara.
Linda gadis cilik yang paling cantik
diantara mereka. Raut manis wajahnya, dengan rambut hitam yang terurai panjang dipadukan
dengan lesung pipit di kedua pipinya membuatnya semakin menarik. Suaranya yang
cempreng itu selalu memekik dipasang-pasang telinga yang mendengarnya, namun
suara itu justru dirindukan saat tak ada yang bisa memecahkan kehampaan suara.
Penampilanya yang begitu menarik membuat orang tertarik. Orang awam tidak akan
pernah menyangka itu adalah penampilan dari seorang gadis pinggir jalan.
Linda hidup bersama kedua orangtuanya di
singasana mungil mereka di sudut pinggir sungai sebelah barat. Ibunnya adalah
wanita tegar yang tahan dalam cobaan sebesar apa. Dulunya wanita paruh baya ini
adalah calon pahlawan devisa yang gagal berangkat 2 tahun yang lalu. Dirinya
tertipu oleh oknum nakal yang tidak bertanggung jawab yang dikira akan
benar-benar mengantarkan kelembah uang di Arab Saudi. Semua harta benda,
termasuk rumahnya dulu dijual untuk keperluan itu. Dan akibatnya saat ini
mereka hidup di pinggir sungai tanpa status yang jelas. Ayahnya adalah pekerja
serabutan. Penghasilanya entah seberapa. Kadang cukup walau seringnya tidak.
Sebagai istri baik yang berbakti dipunggung suami tercintanya itu. Sehari hari
wanita paruh baya ini bekerja paruh waktu menjadi pembantu rumah tangga di
perumahan diatas jembatan.
---------- ----------
“lalalalalalalala…nanananan… la…llaaa naaa….”
Terdengar senandung kecil diantara peri-peri penunggu
hujan. Disitulah Raina mencurahkan suasana hatinya dengan senandung yang
digambarkan. Suasananya merdu memecah logika. Suaaranya mampu menenangkan hati
yang gelisah. Gadis ini selalu ceria
menghadapi masalah yang datang, walau kadang sulit diterima akal fikirnya yang
masih anak-anak.
Raina sudah hiilir mudik menyebrangi
jalan yang penuh oleh hujan. Namun tak mendapat apa yang dicarinya. Senyum
manis masih mengembang disudut bibirnya. Menuai sejuta kebaikan yang teramat
polos dari hati kecilnya itu. Ia lalu melangkah kearah nenek tua diseberang
jalan. Dari jauh pancaran mata nenek tua yang sudah mulai layu itu Nampak
sangat mendamaikan Raina dibawah hujan. Saat jarak diantara mereka hanya
beberapa jengkal, n enek itu tersenyum simpul. Raia mrembalasnya dengan senyum
termanis yang dia punya.
“Saya ikut duduk ya nek?” Tanya Raina
“ oh.. iya..iya silahkan nak,
lagian nenek juga sendirian, tak ada
temen ngbrol”
“ia nek..” raina kembali menjawab dan
tersenyum.
Pembicaraan basa-basi terus mengalir
sederas titik titik air yang turun. Diseberang, linda dan yogi masih sibuk
menawarkan jasa paying istimewa mereka. Kemudian melambai pada Raina yang ada
di samping nenek itu.
No comments:
Post a Comment