Friday, October 12, 2012

Gadis Penunggu Hujan (1)

(ini cerpen kelas 2 SMA, no edit)
Suatu senja di sore yang temaram, awan dilangit merubah warnanya menjadi keabu abuan. Matahari bersembunyi menutup senyum yang sedari tadi mekar menghiasi langit Semarang. Angin bertiup kecil menghembus apa yang didapatnya. Langit mulai gelap, pertanda Dewa Hujan sudah siap menebarkan kasihnya kepada dunia, melalui rintik rintik air yang turun. Tumbuhan tersenyum karna akan merasakan segarnya air hujan disore itu. Titik titik hujan mulai turun membasahi segala yang ada dibumi waktu itu. Ada yang menyambutnya dengan gembira, seperti gelak tawa anak anak penjaja ojek payung ditepi jalan raya dikota tua itu. Tapi di sudut lain, seorang nenek terlihat bingung duduk didepan ruko yang nyaris tutup. Sepertinya si nenek tak mengharapkan hujan datang pada saat itu. Entah apa gejolah didalam pikirannya, sulit diterjemehkan lewat raut wajahnya yang sudah mengkeriput.
Usia nenek yang dulu muda ini, sudah cukup berumur. Raut wajahnya yang keriput itu menegaskan betapa dia bisa tegar dalam berbagai keadaan. Masa masa hidup yang penuh problematika, seperti 16 tahun yang lalu , saat lekuken lekuken itu belum menghiasi raut mukanya yang masih cerah. Sebelum gelap itu menggantikan sinar terang dalam keluarganya. Bencana itu datang bersama hujan besar yang mengguyur solo sepanjang malam, untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Keluarganya terjebak dalam banjir bandang yang seketika menyergap. Tanpa pilih pilih.. tak pandang orang baik atau orang jahat, apa saja yang didapatnya langsung disergap. Begitu pula dengan tubuh tubuh kecil didalam rumah tua milik nenek yang  ternyata bernama Waljinah ini.
Dia selamat atas seizin tuhan, sementara malaikat maut sudah melaksanakan tugasnya mengambil roh anak anak Waljinah dari jasad jasad kecil itu. Esoknya,, berpuluh puluh,, oh tidak, terlalu sedikit, yaa beratus ratus jasad manusia terbujur kaku di tempat evakuasi, disitu juga Waljinah menangis sesal disamping jasad 2 anak gadisnya. Betapa besar kesedihan yang singgah dihati Waljinah, juga di hati kebanyakan orang Solo yang trenyuh mendengar kabar duka dari sanak saudara.
Waljinah adalah satu dari seribu  orang  yangmengaku tegar, tapi masih bertahan menjaga ketegaran hati dan imanya ditengah keadaan dan nasibnya yang masih gonjang ganjing. Ia belum sempat memikirkan kelanjutan nasibnya. Otaknya belum bisa memikirkan apa apa, tak dapat ditampung di otaknya lagi,setiap kata kata orang yang lalu lalang memberi nasihat untuk menenangkan kegalauan hatinya. Dia menjauh sebentar dari kebrisikan orang yang berlalu lalang menggotong jasad jasad kaku dan dari kebisingan suara tangis yang masih juga belum reda. Mushola kecil di ujung lapangan yang selamat dari bencana menjadi tujuannya. Dia akan berdoa barang sebantar untuk kebahagiaan hidup anak anak gadisnya di akhirat. Mencoba bersyukur dan percaya “dibalik rahasia ada rahasia” untuk sekedar membangun kembali ketegaran dan ketangguhan hatinya. 
        Mulailah dia mengambil air wudlu, percikan air surga itu benar benar menyejukan kepedihan hatinya. Dia masih ingat kata kata seorang uztad yang sempat didengarnya beberapa waktu lalu. Tuhan sudah mengatur semua yang akan terjadidalm hidup kita, tak semua yang kita anggap benar, itu benar juga menurut alllah SWT.. dan tak semua yang  kita anggap salah, salah juga menurut Allah SWT.. kata kata yang selalu menjadi penyemangatnya. Dia melakukan sholatnya dengan khusuk, setiap gerakanya selalu disertai dengan rasa cinta kepada Allah SWT.. setelah salam yang kedua kalinya, dia menyelipkan doa untuk kedua anak gadisnya. “ ya Allah, segala yang ada didunia ini adalah kuasamu, engkau yang menciptakan manusia dan kelak engkau juga yang akan mengambilnya kembali ke surgamu,, seperti itu pula yang akan terjadi pada hambamu ini, ternyata engkau sudah mengambil titipanmu yang sudah bertahun tahun engkau titipkan pada hambamu yang hina ini, selama bertahun tahun saya sudah berusaha menjaganya ditengah berbagai macam cobaanmu ya Allah, tapi apa daya, engkau sudah berkehendak mengambilnya melalui bencana yang engkau tuurunkan di kota kami, aku ikhlas ya allah, karna semua itu adalah kuasamu .. semoga amal ibadah anak anaku diterima disisimu amien..”
        Bertahun tahun setelah itu, Waljinah sudah berubah menjadi seorang nenek tua. Tapi tak sedikitpun ketegaran hati dan iman Waljinah berkurang, bahkan semakin menebal. Waljinah selalu berusaha untuk belajar dari setiap masalah masalahnya. Saat ini dia hidup di Kota  lumpia, disana ia sekedar nebeng hidup dirumah adik sedarahnya, Warsinah. Anak anaknya sudah diambil bencana banjir bandang. Gadis pertamanya Siti Khadiyah si periang yang mewarisi bakat menyulam ibunya adalah gadis berumur 15 tahun. Sedangkan sibungsu Solihah adalah perempuan pendiam yang menderita penyakit asma. Ia saat itu berumur 11 tahun.
        Udara semarang yang panas, membuat mata Waljinah yang sudah mulai rabun itu harus berkutat dengan sengatan matahari. Ia menyiripkan matanya untuk melihat sesuatu dari kejauhan. Untuk membeli kacamata tak mampulah dia. Sore itu dia sedang berjalan pulang dari pekerjaan sehari harinya membantu Warsinah yang berjualan nasi rames di pinggir jalan seberang. Waljinah terlalu tega untuk membiarkan Warsinah bekerja sendirian.
        Sementara di sudut lain Malaikat malaikat kecil bersayap payung itu menari nari diatas air yang tergenang dijalanan. Bak melihat bunga mekar sebelum jatuh masanya, Linda, Raina dan Yogi berlarian kecil sambil menyiapkan senyum yang tersungging dibibirnya untuk calon penumpang payungnya. Si anak laki laki yang mengaku macho adalah yogi, dia adalah yang paling pemberani diantara para pengojek payung. Pernah suatu waktu, si boss ini mendongkak penuh marah kepada seorang bapak bapak yang bergelimang harta tapi tidak sudi mengeluarkan uang barang serupiah pun untuk membayar perjuangan Linda. Si boss ini bagaikan leader pahlawan pembela orang-orang yang lemah. “si boss” adalah kata-kata kecil yang apik yang sering terucap dari bibir Linda dan Raina untuk memanggil pahlawanya itu, panggilan kesayangan yang membuat Yogi juga balik menyangi mereka. Waktu yang menjadikan mereka bak saudara se ibu se ayah, bahkan terlalu banyak duka dan suka yang sudah mereka lewati tanpa asa yang menggelora. 
        Yogi tinggal di sudut gang di pemukiman pinggir sungai. Rumah yang dianggapnya sudah cukup nyaman, karena didalamnya tinggal juga seorang ibu yang dulu sudah mengorbankan nyawa untuk melahirkan dan kini berjuang hidup demi anak semata wayang. Ia pandai bersyukur atas semua yang tuhan berikan kepadanya. Duka membuatnya bisa merasakan dan menikmati apa itu yang namanya bahagia.. dan adanya bahagia membuatnya tersenyum dalam berbagai keadaan.
        Ibunya adalah wanita kuat yang pintar dalam berbagai hal, ia bisa menjadi ibu sekaligus ayah dirumah kecil itu. Wanita berperan ganda yang sangat dihormati dan disayangi Yogi. Sudah 2 tahun ini keluarga kecil itu hidup tanpa kehadiran seorang ayah ditengah tengahnya. Ayah Yogi sekarang terpenjara di Sumatra, bukan masalah apa-apa. Ayahnya bekerja di sebuah penambangan emas liar, mungkin memang sudah takdirnya. Suatu ketika, ia bersama semakin menarik. suaspinggir sungai. Tanpa disangka-sangka polisi mengamankan tempat itu. Ayah Yogi dan beberapa sahabatnya belum sempat lari menyelamatkan diri sendiri dan semuanya. Polisi terlalu pintar untuk jangkauan pikiran mereka yang masih dangkal. Jadilah mereka menekam di lembah kesengsaraan di penjara, terpenjara. 
        Linda gadis cilik yang paling cantik diantara mereka. Raut manis wajahnya, dengan rambut hitam yang terurai panjang dipadukan dengan lesung pipit di kedua pipinya membuatnya semakin menarik. Suaranya yang cempreng itu selalu memekik dipasang-pasang telinga yang mendengarnya, namun suara itu justru dirindukan saat tak ada yang bisa memecahkan kehampaan suara. Penampilanya yang begitu menarik membuat orang tertarik. Orang awam tidak akan pernah menyangka itu adalah penampilan dari seorang gadis pinggir jalan.
        Linda hidup bersama kedua orangtuanya di singasana mungil mereka di sudut pinggir sungai sebelah barat. Ibunnya adalah wanita tegar yang tahan dalam cobaan sebesar apa. Dulunya wanita paruh baya ini adalah calon pahlawan devisa yang gagal berangkat 2 tahun yang lalu. Dirinya tertipu oleh oknum nakal yang tidak bertanggung jawab yang dikira akan benar-benar mengantarkan kelembah uang di Arab Saudi. Semua harta benda, termasuk rumahnya dulu dijual untuk keperluan itu. Dan akibatnya saat ini mereka hidup di pinggir sungai tanpa status yang jelas. Ayahnya adalah pekerja serabutan. Penghasilanya entah seberapa. Kadang cukup walau seringnya tidak. Sebagai istri baik yang berbakti dipunggung suami tercintanya itu. Sehari hari wanita paruh baya ini bekerja paruh waktu menjadi pembantu rumah tangga di perumahan diatas jembatan.
----------  ----------


 “lalalalalalalala…nanananan… la…llaaa naaa….”
Terdengar senandung kecil diantara peri-peri penunggu hujan. Disitulah Raina mencurahkan suasana hatinya dengan senandung yang digambarkan. Suasananya merdu memecah logika. Suaaranya mampu menenangkan hati yang gelisah.  Gadis ini selalu ceria menghadapi masalah yang datang, walau kadang sulit diterima akal fikirnya yang masih anak-anak. 
        Raina sudah hiilir mudik menyebrangi jalan yang penuh oleh hujan. Namun tak mendapat apa yang dicarinya. Senyum manis masih mengembang disudut bibirnya. Menuai sejuta kebaikan yang teramat polos dari hati kecilnya itu. Ia lalu melangkah kearah nenek tua diseberang jalan. Dari jauh pancaran mata nenek tua yang sudah mulai layu itu Nampak sangat mendamaikan Raina dibawah hujan. Saat jarak diantara mereka hanya beberapa jengkal, n enek itu tersenyum simpul. Raia mrembalasnya dengan senyum termanis yang dia punya. 
        “Saya ikut duduk ya nek?” Tanya Raina
        “ oh.. iya..iya silahkan nak, lagian  nenek juga sendirian, tak ada temen ngbrol”
        “ia nek..” raina kembali menjawab dan tersenyum.
        Pembicaraan basa-basi terus mengalir sederas titik titik air yang turun. Diseberang, linda dan yogi masih sibuk menawarkan jasa paying istimewa mereka. Kemudian melambai pada Raina yang ada di samping nenek itu.
       

No comments:

Post a Comment